Jumat, 06 Agustus 2010

Ada apa dengan pendidikan di Indonesia

1934
Menjadi intelektual adalah proses yang membutuhkan ketekunan dan ketelitian, tahun ini merupakan media refleksi awal dimana sedikit manusia Indonesia yang bertitel sarjana dengan kekurangminatannya tehadap kehidupan ilmiah dan ilmu pengetahuan,
Ukuran orang saat itu bukan tingkat kehdupan intelektual melainkan pendidikan sekolah. Para pemegang title hanya tahu bacaan vak sendiri tetapi mereka bukan intelektual. Bagi mereka, ilmu pengetahuan hanya merupakan sesuatu yang lahiriah dan bukan kekayaan batiniah, ilmu pengetahuan hanya dianggap sebagai barang yang mati bukan hakikat hidup. Ketiadan sikap intelektual bukan kerena orang Indonesia kurang cerdas tetapi karena belum terbentuk masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan, orang baru berkenalan dengan kulit ilmu pengetahuan.
2007
Justifikasi serta generalisasi mutu pendidikan di Indonesia kurang mengarah pada pembenahan yang optimal dalam tubuh pendidikan itu sendiri, perlu suatu pembenahan media refleksi terhadap factor pendamping dan fasilitator dalam hal ini guru atau bahkan setingkat yang lebih tinggi diatasnya yang mana mampu memberikan pengevaluasian yang berstandarisasi fokus dengan mengarah ke proses pengaplikasian nilai bukan sekedar hasil akhir jawaban, kecemburuan antara mata pekajaran yang di UN kan dan yang tidak mengakibatkan para guru dan murid memfokuskan pada latihan sebagaimana menjawab soal-soal UN tanpa memaknai mata pelajaran tersebut dari struktur keilmuan, kondisi ini menyebabkan sekoloah menjadi beralih fungsi dari wahana internalisasi nilai-nilai positif menjadi wahana bimbingan belajar matapelajaran yang di UN kan.
Pengaplikasian nilai-nilai pendidikan yang terarahkan pada sisitem hasil lebih terprioritaskan secara optimal dibanding dengan sistem proses yang menjadi arah menuju pembenahan nilai-nilai tersebut.
MENNCOBA MENILIK
Upaya peningkatan mutu pendidikan nasional tidak bisa ditempuh dengan cara parsial tetapi harus holistic termasuk non-akademis, input, dan out put bahkan outcome pendidikan dan dengan melibatkan seluruh pihak yang terkait dengan dunia pendidikan dengan didukung sarana dan prasarana yang memadai juga.
Pendidikan di Indonesia seharusnya mampu mengubah mentalitas dan mengeluarkan bangsa dari keterbelakangan sehingga tercapailah kemampuan dari hakikat pendidikan itu sendiri untuk mampu memberi arah perkembangan sehingga terjadilah pencapaian regenerasi Martin Buber (Perkembangbiakan Spiritual ; / The Writings Of Martin Buber, 317-24).
Filosofi pendidikan kita yang tidak focus dimana pendidikan dilaksanakan tanpa adanya refleksi dan hanya merupakan bagian aktivisme bahkan terkadang reaktif, sebagaimana institusi pendidikan yang dibebani tugas untuk menghasilkan insan yang bertaqwa, sebuah tugas yang belum tentu bisa diemban institusi agama.
Mengintergrasikan nilai bukanlah suatu hal yang sederhana karena merupakan pendidikan hati yang melibatkan manusia seutuhnya ( The Education Of The Heart; Thomas Moore 1996). Nilai dikembangbiakan lewat refleksi dan expresi bebas tetapi bermartabat sehingga pengajaran tidak hanya berhenti di otak. Kesimpulanya, tindakan bukan bagian dari aktivisme melainkan sebuah tanggungjawab, dalam perkembangbiakan nilai, generasi yang belajar tidak hanya menerima pengajaran tetapi juga memproduksi dan memperbaharuinya.Pembelajaran seperti itu menempatkan pelajar sebagai subjek, pusat dan focus pendidikan dan guru hanya sebagai fasilitator dan pendamping murid.
Tekanan pembelajaran bukan hanya kecerdasan intelektual tetapi juga kecerdasan yang komperhensif, bukan hanya transfer pengetahuan atau pembekalan tetapi juga perkembangbiakan nilai. Sejauh ini pendidikan kita hanya berorientasi pada hasil sehingga bidang-bidang studi yang menopang nation and Character Of Building menjadi terabaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar